Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

Befikir, bertuhan dan Melawan (Normativitas dan Aktualitas Nalar Kritis)

Manusia diberikan akal untuk berfikir, Afalaa ta'qilun (maka agar kamu berpikir). Allah menciptakan semua yang ada dimuka bumi ini agar manusia mau menggunakan akan pikirannya. Alquran sebagai wahyu memerlukan penafsiran yang hanya mampu ditafsirkan dengan akal pikiran karena harus selalu disandingkan dengan konteks yang ada. Bukan persoalan mengapa manusia harus menggunakan akalnya untuk berpikir?, tetapi ini persoalan "hidup", yang mana ketika kehidupan berjalan sebagaimana seharusnya maka akal akan tetap menyertainya. Jika manusia hidup tetapi akalnya mati maka manusia tersebut hanya sebagai "mayat".

Masa, Siapa Tahu.....?

Waktu  selalu menjadi "Misteri" Bukan, bukan masalalu yang menjadikan seseorang, tetapi masalalu hanya menjadi sepijak dari apa yang terjadi saat ini, dan saat inilah yang akan menentukan dari seseorang. Kalau kata orang masalalu itu ibarat kaca spion yang hanya dilihat dari sekilas saja, tanpa harus melihat secara penuh karena tatapan harus melihat apa yang sedang ditatap sekarang, jalan didepan tentunya agar tidak terperangkap pada jalan yang sesat atau menabrak sesutu didepan mata. bersambung........

Ah... Semua hanya “Paradoks”

Apa yang saya pikirkan bukan saja sebuah kebenaran. Bukan masalah saya mengambil kesimpulan atas apa yang terlihat. Tetapi benar juga kalau saya sering menyimpulkan dari apa yang terlihat, begitu juga orang melihat saya, ternyata slogan “don’t jugde the book just from the cover” tidak semua orang mengerti itu, karena “image” juga melekat melalui penampilan dan itu yang menjadikan standar penilaian seseorang. Ah..... Semuanya masih bisa dikendalikan termasuk pandangan dan kesimpulan. Eits... Berbicara perasaan, pasti akan membawa yang namanya “cinta”, padahal saya tidak mau membahas itu. Kata orang kepadaku “Mbak Nining harus sudah mulai menjodohkan diri dari sekarang”, (betapa baiknya orang itu). Berkali-kali saya selalu dijatuhkan pada sebuah pernyataan “Jangan terlalu memilih dan terbuka saja”, (nasihat seperti apa lagi yang nantinya akan saya dengar). Ah.... Biarkan saja semua berjalan sesuai dengan “masa”nya. (Ini bukan pengalihan isu dari perasaan yaa....) Suatu ketika saya...

Surau Bertasbih

Gambar
Bait demi bait Bukan masa yang tercecer Tanah bukan menjadi pijakan Hukum penindasan menjadi akrab Butir tasbih tak lagi menenangkan Ada apa dengan negeriku? Ada apa dengan moral bangsaku? Tanah ini menjadi saksi Pelancong mengerti kapan saat harus berhenti Tapi lihat!! kenapa mereka bertengkar? Noktah merah merangkai setiap sudut matanya Surau itu berbisik Maha Besar Tuhanku Maha Suci Tuhanku Dia yang Maha Agung Jika aku bukanlah pilihan mereka Lalu bagaimana mereka akan bahagia sepenuhnya? Lalu bagaimana akan mereka temui Tuhan? Jika aku bukanlah bahtera Lautan nista telah diobralkannya Cukupkanlah keselamatan pada penghuniku Mereka yang selalu ada pada dan selalu mengunjungiku Maha Besar Tuhanku Maha Suci Tuhanku Tak ada sesuatupun yang setara denganNya

Menggenggam Surau Kala Senja

Ini bukan mengenai bagaimana Rahayu memenangkan olimpiade yang selama ini memang menjadi keahliannya, yakni Matematika. Tetapi masa menjadikannya keemasan dalam keluarga sehingga mau atau tidak ia harus menjadi kebanggaan yang selama ini telah dibangun citranya. "Mata bukan hanya bisa melihat apa yang tampak tetapi justru kelemahannya yang tak mampu melihat beraneka ragam keindahan yang tersimpan"

Manusia dan Kemanusiaan

Keyakinan manusia akan Tuhan menjadi tidak akan berarti jika dalam sejarah kehidupannya ia tidak lagi menghargai manusia yang lain sebagai rekan hidup yang nyata. Ketika SD atau SMP bahkan SMA bahkan teori "makhluk sosial" itu disandang manusia tidak ada yang berubah sampai saat ini. Sedikit sekali yang hanya mengatakan manusia adalah makhluk Tuhan. Masihkah manusia menjadi agen sosial?. Jerebu atau asap yang meliputi sebagian wilayah timu negara ini, inikah bukti makhluk sosial yang disandang manusia?, atau seberapa tingkatnya manusia menduduki makhluk sosial dalam hidupnya. Penindasan, kekerasan dan ketidak berdayaan manusia lain dalam menduduki derajat kemanusiaannya seolah menjadi angin lalu bagi manusia yang lain dan "menolak" tahu atau "pembiaran". Hal ini bukan lagi menjadi kajian yang buta, tetapi banyak sekali kajian kemanusiaan yang menjadi kursus dalam kehidupan manusia, jika tidak mengenyampingkan yang dinamakan dengan "keadilan". Kea...