Rabu, 28 Oktober 2015
Befikir, bertuhan dan Melawan (Normativitas dan Aktualitas Nalar Kritis)
Manusia diberikan akal untuk berfikir, Afalaa ta'qilun (maka agar kamu berpikir). Allah menciptakan semua yang ada dimuka bumi ini agar manusia mau menggunakan akan pikirannya. Alquran sebagai wahyu memerlukan penafsiran yang hanya mampu ditafsirkan dengan akal pikiran karena harus selalu disandingkan dengan konteks yang ada. Bukan persoalan mengapa manusia harus menggunakan akalnya untuk berpikir?, tetapi ini persoalan "hidup", yang mana ketika kehidupan berjalan sebagaimana seharusnya maka akal akan tetap menyertainya. Jika manusia hidup tetapi akalnya mati maka manusia tersebut hanya sebagai "mayat".
Jumat, 23 Oktober 2015
Masa, Siapa Tahu.....?
Waktu selalu menjadi "Misteri"
Bukan, bukan masalalu yang menjadikan seseorang, tetapi masalalu hanya menjadi sepijak dari apa yang terjadi saat ini, dan saat inilah yang akan menentukan dari seseorang. Kalau kata orang masalalu itu ibarat kaca spion yang hanya dilihat dari sekilas saja, tanpa harus melihat secara penuh karena tatapan harus melihat apa yang sedang ditatap sekarang, jalan didepan tentunya agar tidak terperangkap pada jalan yang sesat atau menabrak sesutu didepan mata.
bersambung........
Bukan, bukan masalalu yang menjadikan seseorang, tetapi masalalu hanya menjadi sepijak dari apa yang terjadi saat ini, dan saat inilah yang akan menentukan dari seseorang. Kalau kata orang masalalu itu ibarat kaca spion yang hanya dilihat dari sekilas saja, tanpa harus melihat secara penuh karena tatapan harus melihat apa yang sedang ditatap sekarang, jalan didepan tentunya agar tidak terperangkap pada jalan yang sesat atau menabrak sesutu didepan mata.
bersambung........
Sabtu, 17 Oktober 2015
Ah... Semua hanya “Paradoks”
Apa yang saya pikirkan bukan saja sebuah kebenaran. Bukan
masalah saya mengambil kesimpulan atas apa yang terlihat. Tetapi benar juga
kalau saya sering menyimpulkan dari apa yang terlihat, begitu juga orang
melihat saya, ternyata slogan “don’t jugde the book just from the cover” tidak
semua orang mengerti itu, karena “image” juga melekat melalui penampilan dan
itu yang menjadikan standar penilaian seseorang.
Ah..... Semuanya masih bisa dikendalikan termasuk pandangan dan
kesimpulan. Eits... Berbicara perasaan, pasti akan membawa yang namanya
“cinta”, padahal saya tidak mau membahas itu. Kata orang kepadaku “Mbak Nining
harus sudah mulai menjodohkan diri dari sekarang”, (betapa baiknya orang itu).
Berkali-kali saya selalu dijatuhkan pada sebuah pernyataan “Jangan terlalu
memilih dan terbuka saja”, (nasihat seperti apa lagi yang nantinya akan saya
dengar). Ah.... Biarkan saja semua berjalan sesuai dengan “masa”nya.
(Ini bukan
pengalihan isu dari perasaan yaa....)
Suatu ketika
saya menilai seseorang yang bertanya kepada saya “Menurut Njenengan (sapaannya
kepada saya) saya ini orangnya bagaimana mbak?”. Jelas saya jawab apa yang saya
tahu saja, karena belum begitu mengenalnya, hanya karena selama 2 bulan saya
pernah praktik di salah satu sekolah (rahasia penulis), “Njenengan (sapaan saya
juga padanya) itu alim, sholih, baik dan sepertinya berwibawa, murah senyum,
rajin ibadah, tidak mudah marah”.
Lha memang
selama bertemu begitu orangnya, selalu menjumpainya saat dhuha di masjid,
ketika ngobrol juga enak saja orangnya, senyum dan yaa... biasa saja. “wah
belum pernah melihat saya marah ya?”, katanya begitu. “memang kenapa kalau
marah?, meyeramkan?, atau bagaimana?”, tanyaku. (stop berhenti disini saja, dan
jangan kepo ya pembaca dan para fans...).
(tadi
perbincangan satu, masih ada perbincangan yang lain, ini contohnya lagi)
Suatu saat
ada pesan masuk yang kemudian arah perbincangannya adalah menanyakan persoalan
pribadi langsung saja saya jawab dengan baik (lumayan baik lebih tepatnya).
“Maaf jika tidak ada kepentingan dengan saya, maka tidak perlu mengirim pesan
atau menghubungi saya”, ternyata itu adalah teman yang sedang mengerjai saya,
kemudian komentar yang saya terima adalah “Nining kamu kok galak banget to?,
mosok begitu, pantas jika kamu masih jomblo sekarang”. Pernyataan demi
pernyataan menimbulkan sebuah pandangan dari seseorang kepada saya dan apa yang
ada disekitar saya termasuk bagaimana keseharian saya. Tetapi hal yang perlu
diingat adalah bukan persoalan bagaimana kita memandang seseorang, tetapi perlu
saja melihat sebenarnya orang itu, dengan bisa bertanya kepada yang lain dan
mengambil sisi yang masih bisa terjamah dari keseharian dan lepribadian orang lain
tersebut.
Kini, saya
tidak akan ambil pusing atas apa dan bagaimana saya melihat seseorang, karena
seperti halnya apa yang Allah berikan kepapda kita, sangat dinamis dan sangat
bisa berubah dari waktu ke waktu, dari detik ke detik, namanya juga roda kehidupan,
ada kalanya yang di atas ada kalanya yang dibawah. Berubah dan terus berputar,
kali ini saya bisa mengatakan alim, baik, tetapi suatu saat siapa yang tahu
bagaimana orang memandang kita. “Hidayah Allah itu datang bagi orang yang
dikehendakinya tetapi juga yang berkehendak”, betul tidak saudara-saudara?.
Tapi kalau bertambah buruk kira-kira itu dari Allah atau dari manusia ya?,
hehe. Apa juga masih berlaku bahwa apapun yang baik itu berasal dari Allah dan
apa yang buruk itu berasal dari manusia?. Kesimpulan atas apapun itu saya kira
yang paling baik adalah mengembalikan kepada Allah kok ya, jadi tidak ada
prasangka dan tidak ada juga yang namanya kecewa karena terlalu berekspektasi
tinggi memandang sesuatu. Nah....soal cinta juga begitu, jadi jangan terlalu
berharap terlalu tinggi dulu, tetapi berharap itu ya sama Allah saja, bukan
pada manusia yang sangat fluktuatif, sebentar A , sebentar B, biar tidak sakit
hati saudara-saudara.
Ini closing
statement nya, jauh dan berputar-putar tetapi ah, bahasa tulisku masih
berantakan dan tidak karuan, kadang apa yang ada dipikiran kok tidak bisa
dituliskan, cukup bisa dibatin dan ah... ini hanya kumpulan asumsi yang saya
anggap benar, menurut saya karena ini “ala”nya saya.
Jumat, 16 Oktober 2015
Surau Bertasbih
Bait demi bait
Bukan masa yang tercecer
Tanah bukan menjadi pijakan
Hukum penindasan menjadi akrab
Butir tasbih tak lagi menenangkan
Ada apa dengan negeriku?
Ada apa dengan moral bangsaku?
Tanah ini menjadi saksi
Pelancong mengerti kapan saat harus berhenti
Tapi lihat!! kenapa mereka bertengkar?
Noktah merah merangkai setiap sudut matanya
Surau itu berbisik
Maha Besar Tuhanku
Maha Suci Tuhanku
Dia yang Maha Agung
Jika aku bukanlah pilihan mereka
Lalu bagaimana mereka akan bahagia sepenuhnya?
Lalu bagaimana akan mereka temui Tuhan?
Jika aku bukanlah bahtera
Lautan nista telah diobralkannya
Cukupkanlah keselamatan pada penghuniku
Mereka yang selalu ada pada dan selalu mengunjungiku
Maha Besar Tuhanku
Maha Suci Tuhanku
Tak ada sesuatupun yang setara denganNya
Bukan masa yang tercecer
Tanah bukan menjadi pijakan
Hukum penindasan menjadi akrab
Butir tasbih tak lagi menenangkan
Ada apa dengan negeriku?
Ada apa dengan moral bangsaku?
Tanah ini menjadi saksi
Pelancong mengerti kapan saat harus berhenti
Tapi lihat!! kenapa mereka bertengkar?
Noktah merah merangkai setiap sudut matanya
Surau itu berbisik
Maha Besar Tuhanku
Maha Suci Tuhanku
Dia yang Maha Agung
Jika aku bukanlah pilihan mereka
Lalu bagaimana mereka akan bahagia sepenuhnya?
Lalu bagaimana akan mereka temui Tuhan?
Jika aku bukanlah bahtera
Lautan nista telah diobralkannya
Cukupkanlah keselamatan pada penghuniku
Mereka yang selalu ada pada dan selalu mengunjungiku
Maha Besar Tuhanku
Maha Suci Tuhanku
Tak ada sesuatupun yang setara denganNya
Menggenggam Surau Kala Senja
Ini bukan mengenai bagaimana Rahayu memenangkan olimpiade yang selama ini memang menjadi keahliannya, yakni Matematika. Tetapi masa menjadikannya keemasan dalam keluarga sehingga mau atau tidak ia harus menjadi kebanggaan yang selama ini telah dibangun citranya.
"Mata bukan hanya bisa melihat apa yang tampak tetapi justru kelemahannya yang tak mampu melihat beraneka ragam keindahan yang tersimpan"
"Mata bukan hanya bisa melihat apa yang tampak tetapi justru kelemahannya yang tak mampu melihat beraneka ragam keindahan yang tersimpan"
Minggu, 04 Oktober 2015
Manusia dan Kemanusiaan
Keyakinan manusia akan Tuhan menjadi tidak akan berarti jika dalam sejarah kehidupannya ia tidak lagi menghargai manusia yang lain sebagai rekan hidup yang nyata. Ketika SD atau SMP bahkan SMA bahkan teori "makhluk sosial" itu disandang manusia tidak ada yang berubah sampai saat ini. Sedikit sekali yang hanya mengatakan manusia adalah makhluk Tuhan. Masihkah manusia menjadi agen sosial?. Jerebu atau asap yang meliputi sebagian wilayah timu negara ini, inikah bukti makhluk sosial yang disandang manusia?, atau seberapa tingkatnya manusia menduduki makhluk sosial dalam hidupnya. Penindasan, kekerasan dan ketidak berdayaan manusia lain dalam menduduki derajat kemanusiaannya seolah menjadi angin lalu bagi manusia yang lain dan "menolak" tahu atau "pembiaran". Hal ini bukan lagi menjadi kajian yang buta, tetapi banyak sekali kajian kemanusiaan yang menjadi kursus dalam kehidupan manusia, jika tidak mengenyampingkan yang dinamakan dengan "keadilan". Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi dasar dan landasan berpikir seorang manusia dalam melakukan segala kebijakan dalam kehidupannya. Jika didalam Islam dikenal dengan menggunjing adalah memakan daging bangkai saudaranya yang sudah mati maka masihkan kita akan mengesampingkan kehidupan sosial?, atau cuek saja. :D
Langganan:
Postingan (Atom)
Rambu Materi Aqidah Akhlak X PTS Genap
Malaikat adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan untuk membantu tugasNya dalam mengawasi manusia. Malaikat tidak daat dilih...
-
PERIODISASI MUHAMMADIYAH (Yuk, cari tahu bagaimana perkembangan Muhammadiyah sebagai persyarikatan dimulai dan kemajuan apa saja yang ...
-
‘ARIYAH A. ‘Ariyah (Pinjam Meninjam) Secara Bahasa ‘ariyah diambil dari kata ‘aara yang artinya pergi dan...
-
MUHASABAH (Yuk Cek Sejauh Mana Kita Meneladani Asmaul Husna) Parameternya : Kalau jumlah skor diatas 80 berarti su...