Bukan Cinta Tak Retak
Ibu... Ibu dimana?, Imin haus bu" ringkik Imin meminta minum.
Setelah tiga jam tidak sadarkan diri dan hanya berbekal nasi dalam perutnya
sewaktu sahur. Jam dinding menunjukkan pukul.12.30 siang, kamarnya begitu sepi
dan terlihat luas karena hanya ada satu tempat tidur dan televisi tak bisa
nyala. "Ibu kemana?, apa Ibu akan meninggalkanku seperti ayah?, kenapa Ibu
tidak kunjung datang, Imin haus bu, Imin lapar, Imin pingin makan, Ibu...
jangan tinggalkan Imin sendiri bu, Imin takut, Imin tidak ada teman lagi
bu.." tangisnya tersedu. Ibunya memang seolah hilang begitu saja, tapi Ia
tidak meninggalkan Iin sendiri, Ia hanya mencari buah untuk mengganjal
perutnya. Sebelum ke pasar Ia memilih unutk menunaikan shalat dhuhur dulu di
Mushola rumah sakit, karena hanya disana Ia bisa menumpahkan air matanya,
dibalik sujudnya, dibalik tanda kesyukuran atas nikmat Tuhan tidak mengambil
anaknya begitu cepat. “Ah, pasti Imin sudah menungguku dikamar, aku
harus cepat membelikan buah kesukaannya, semoga uangnya cukup” gumamnya dalam
hati.
Selang
setengah jam kemudian, Ibu Imin kembali ke kamar Imin. Didapatinya Imin sedang
menangis tersedu-sedu. “Imin, sayang, kenapa nangis nak?, Ibu disini, maaf Ibu
lama ya, tadi Ibu shalat dulu jadi agak lama” kata Ibunya. “Ibu... Kenapa ayah
pergi meninggalkan kita bu?, kenapa Ayah tidak sayang kita lagi?, kenapa bu?,
apa karena Imin nakal sama Ayah?, Imin nakal ya bu?” tanya Imin mohon
keyakinan. “Tidak sayang, Imin tidak nakal, Imin anak Ibu yang baik, pinter,
Ayah hanya sedang butuh waktu untuk belajar sayang. Imin mau buah apa?, Ibu
kupasin yaa nak, Ibu kupasin apel yaa biar Imin kenyang” alih Ibunya.
Siang
merambat begitu cepat, kedua orang iitu terlelap diatas tempat tidur yang sama,
Ibu dan anak. Tok tok tok.. suara pintu terketuk dari luar, langkah kaki
membangunkan Ibu Imin. “Permisi bu, maaf kami dari pihak administrasi rumah
sakit mau menanyakan apakah Ibu akan melunasi administrasi rumah sakit hari
ini?, atau setelah pasien akan keluar rumah sakit?, tanya suster lebih
demokratis terhadap Ibu Imin. “Iya suster maaf saya ketiduran, kalau boleh tahu
kalau saya bayar sekarang berapa banyak yang harus saya bayarkan sus?” tanyanya
khawatir. “Kalau Ibu mau bayar sekarang semua total biayanya tujuh juta bu, bagaimana?”tanya
suster mencari jawaban. “Kalau begitu sekalian anak saya keluar dari rumah
sakit saja yaa sus?” jawabnya bingung. “baiklah kalau begitu Ibu, kami tunggu
Ibu di pelayanan administrasi yaa bu, selamat sore bu”, sahut suster
meninggalkan ruangan.
Sore
itu serasa kiamat baginya, bingung dalam benak tak berkesudahan, bahgaimana ia
bisa bayarkan rumah sakit yang sebegitu banyak, sedang uangku hanya tinggal
tujuh ratus ribu saja. “Dari mana aku bisa dapatkan uang itu?, apakah ahrus
minta sama Mas Komar?, mungkinkah aku bisa meminta uang darinya?, lelaki yang
meninggalkan aku dan Imin begitu saja, tapi walau bagaimanapun Ia adalah ayah
dari Imin, walau penghianatannya tak bisa dimaafkan dalam sekali duduk. Aku
yang dulu begitu mencintainya, telah ia hianati, hingga aku harus memikul luka
ini sendiri” gumamnya dalam hati. “Tidak, tidak sudi aku menemuinya, tidak sudi
aku menatap matanya, tak sudi aku mengemis padanya” ego Ibu Imin bergejolak.
Siang
hari ia bekerja, membantu tetangganya mencucikan pakaian kotornya, malam hari
ia bekerja di sebuah klub malam, selama sepuluh hari ketika Imin sudah
benar-benar bisa pulang ia menuju bagian administrasi dan menyerahkan uang
sebesar 12juta. Ia terpaksa memiinjam uang kepada bosnya, dengan jaminan potong
gaji selama ia bekerja. setibanya dirumah, Imin begitu senang, kini Ia dan
Ibunya bisa kembali ke rumah mereka, rumah kontrakan yang dulu Imin terjatuh
didalamnya, hingga tanganya robek. “Bu.. Imin masuk kamar dulu yaa” pinta Imin.
“Iya nak, kamu istirahat yaa sayang, Ibu bikinkan makanan dulu buat Imin ya”
jawab Ibunya.
Hari
demi hari berjalan tanpa konfirmasi. Detak jarum jam bersiul dengan langkah
yang tak pernah mundur. Bocah delapan tahun itu harus menjalani hidup hanya
dengan Ibu yang semakin jarang bertemu dengannya. Tuntutan demi tuntutan harus
dipenuhi ketika mereka memutuskan untuk tetap bertahan hidup. Pikirannya setiap
hari bernyanyi, memainkan dialog, tapi Ia tidak mau menyalahkan Tuhan atas
semua yang menimpanya. Perempuan yang semakin hari semakin kurus berbalut kerudung
yang tak lagi rapi itu harus bekerja keras untuk membayar hutangnya pada
bosnya, jika tidak maka ia harus melakukan apa yang bosnya perintahkan termasuk
menjual kehormatannya. Konflik hidup wanita yang belum genap 26tahun itu,
membuatnya dewasa. Kala sore menjelang dengan hujan yang tak kunjung reda. “Aku
harus bisa bayar hutangku pada mami (sebutan untuk bosnya), Aku harus bisa,
kenapa Aku dulu menikah tertalu muda?, Aku terayu oleh Mas Komar yang aku
yakini dia bisa menjadi Imam bagiku, mungkin jika aku tidak menikah dengannya
hidupku tidak akan seperti ini, aku benci kamu mas, aku benci kamu mas Komar,
Aku juga benci kamu Nah, aku kira kamu sahabatku, tapi kau pergi bersama
suamiku, Aku tidak akan begitu saja melupakan ini Inah, aku tidak akan
melupakan ini begitu saja” gerutunya dalam hati. Magrib menjelang, mengubur
amarah dalam tetes air wudhunya. “Ibu mau pergi lagi yaa, nanti Imin tidurnya
sama siapa?, kenapa Ibu harus pergi setiap malam?, Imin ingin tidur ditemani
Ibu, Bu... Ibu kerja apa?”tanya Imin merengek. “Imin.. mbok jangan jadi anak
manja kamu, Ibu pergi ini untuk mencari uang untuk kamu sekolah, untuk kita
makan, kamu diam dirumah, jangan bikin Ibu kepikiran, sebentar lagi kita bayar
kontrakan, Ibu kalau tidak pergi cari uang kita mau bayar pakai apa?, mengerti
sedikit dong, kamu kan anak laki-laki jangan cengeng, sudah Ibu berangkat,
kalau mau makan sudah Ibu siapkan di meja, ingat, jangan macam-macam, kerjakan
saja PR mu!” bentak Ibunya.
Entah
apa yang merasuki Ibunya akhir-akhir ini, Ia jadi gampang marah dan mudah
sekali membentak hingga Imin yang tadinya penuh keceriaan lebih sering
ketakutan. Malam ini begitu aneh, hawa dingin dan gelap menyelimuti langit.
Malam ini Ia harus menemui Mami untuk membicarakan maslah hutangnya. “Ros...
Rosidah.... ikut ke ruangan saya sekarang..” perintah Mami padanya. Dadany
berdebar, takut, tangannya dingin dan benak penuh tanya, kira-kira bagaimana
nasibnya nanti. “Ros... Kamu tahu kenapa aku panggil kamu kemari?, ingat hari
ini hari apa?” tanya Mami. “Iyaa Mi.. hari ini batas akhir saya bayar hutang ke
Mami”jawabnya gemetar. “Bagus.. kamu ingat itu, lalu mana uangnya?, delapan juta
rupiah” kata Mami bernada mengancam. “Masih sebegitu banyak Mi?...kenapa masih
banyak sekali bukankah saya sudah bayar lebih dari setengahnya Mi?,” tanya Ibu
Imin kaget. “Kamu ingat Ros...Bunga sesuai kesepakatan kita berapa?, kamu
jangan pura-pura bodoh, dan.. sesuai kesepakatan kita kamu harus menjadi
memberku untuk melayani laki-laki yang datang disini, dan aku tidak mau tahu
lagi, kamu harus lepas jilbab murahan kamu itu, ganti bajumu dan mulailah
bekerja, jika tarikanmu bagus, aku anggap kamu lunas, ingan Ros... aku tak akan
membiarkan kamu pergi begitu saja” ancam Mami. “Tapi Mami... saya tidak mau,
itu dosa Mi, Zina itu dilaknat Allah, tolong Mami jangan lakukan itu ke saya,
saya akan kembalikan uang itu ke Mami segera, tolong Mi...”mohon Ros. “Sudahlah
Ros.. aku tidak mau tahu, kamu itu cantik, masih terlihat seksi walau sedikit
kurus, nanti kamu juga akan ketagihan karena uang yang akan kamu terima begitu
banyak dari bos-bos besar” tawar Mami.
Seolah
tidak ada pilihan lain, Ros seorang Ibu dari bocah laki-laki itu menjalani
rutinitasnya di klub malam tempatnya bekerja, wajah berpoleskan merah lipstik
dengan bedak tebal, baju menggoda dan Ia harus menyambut laki-laki yang datang
serta menawarkan minum. Ia akan dipilih untuk menjadi teman bos hidung belang.
Keterpurukan hidupnya menjerembabkannya pada dunia hitam, dan ini berlangsung
lama tanpa anak semata wayangnya tahu itu. Imin pun tidak berani bertanya
karena hanya kemarahan demi kemarahan yang akan Ia dapat jika Ia tanya ke
Ibunya perihal pekerjaannya. Ketika malam semakin larut, Ia masih menanti
langganannya datang, dan tak kunjung datang. “Ros... kemari sayang” panggil
Mami. “Iyaa Mi.. ada apa?” tanya Ros. “Kamu belum pergi kan?, sini aku kenalkan
kau dengan bos besar lainnya, dia banyak duwitnya, jangan kecewakan dia” bisik
Mami. “Pak.. Maaf menunggu sedikit lama, karena wanita ini spesial” kata Mami
pada laki-laki yang membelakanginya. “Tidak apa-apa Mi... (sambil membalikkan
badan)” kata laki-laki itu. Alangkah terkejut bukan main saat laki-laki gagah
dan agak gemuk itu memutar badannya, Ia sangat kenal laki-laki itu, Ia serasa
ingin berteriak dan meluncurkan hujatan padannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar