1. Ibnu Taimiyah
(1263-1328)
Nama lengkapnya Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad, lahir di Harran, Turki,
pada 22 Januari 1263 dan meninggal pada 27 September 1328. Ibnu Taimiyah
belajar Al-Qur’an dari ayahnya dan sekolah di Damascus. Pada usia 10 tahun
sudah hafal Al-Qur’an, mempelajari kitab-kitab hadits utama dan beberapa ilmu
yang lain. Ketika berusia 30 tahun ia menjadi ulama besar di zamannya karena
telah menguasai ilmu kalam, hadits, fiqih, Al-Qur’an dan tafsir. Ia juga
seorang penulis yang produktif, karyanya berjumlah 500 jilid. Corak pemikiran
Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis. Ia menolak logika sebagai
metode berpikir deduktif yang tidak dapat digunakan mengkaji materi keislaman
yang haqiqi.
Upaya
pembaharuan yang dilakukan Ibnu Taimiyah
Pertama, memurnikan
tauhid, menurutnya akidah tauhid yang benar adalah akidah salaf, yang bersumber
dari al-Qur’an dan Hadits, bukan dalil rasional dan filosofis. Ia menentang
segala bid’ah, khurofat dan tahayul. Ia menetapkan sifat-sifat Tuhan namun ia
menolak mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan makhluk. Ibnu Taimiyah
menetapkan sifat Tuhan tanpa tamsil, tanzih dan ta’wil. Ta’wil
kaya “yad” (tangan) dengan kekuasaan tidak dapat diterimanya, ia
mempertahankan arti “yad” dengan tangan. Demikian juga dengan ayat mutasyabihat
lainnya, yang ia sebut al-aqidah al-wasitiyah.
Kedua, ia
menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran Al-Qur’an
dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan
ajaran-ajaran agama.
Ketiga, ia menentang
taklit, karena hal ini dapat membuat umat Islam mundur, sebab taklit berarti
menutup pintu ijihad, membuat otak menjadi beku. Menurutnya, pintu ijtihad
terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia selalu berubah.
Keempat, dalam
berijtihad tidak terikat pada mazhab atau imam. Menurutnya, pendapat siapa saja
yang tepat dan kuat argumennya, itulah yang diambil.
Kelima, dalam bidang
hukum Islam Ibnu Taimiyah tidak mandasarkan keputusan hukum berdasarkan pada ‘illat,
tatapi berdasarkan hikmah.
2. Muhammad Ibn
Abdul Wahhab (1730-1791)
Muhammad Ibn Abdul Wahhab lahir di Uyaynah pada 1730 M/1115 H. Dari
ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya
di bidang tafsir, hadits dan hukum mazhab Hanbaliyah. Ia menulis sebuah karya
terkenal berjudul Kitab at-Tauhid.
Inti
dari gerakan pembaharuannya
Pertama, pembaharuan
Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Ia dan pengikutnya
membedakan ilmu tauhid menjadi tiga macam, yaitu tauhid rububiyah,
uluhiyah dan al-asma’ wa al-sifat.
Menurutnya, Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, dan melarang penyifatan
kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Wahhab tidak mempercayai
superioritas ras, superioritas tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Ia percaya
pada makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan antropomorfisme tentang Allah.
Kedua, ia sangat
tidak setuju dengan para pendukung tawassul. Menurutnya, ibadah adalah cara
manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha mencari perlindungan kepada selain-Nya
merupakan perbuatan syirik, demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah
mati. Hal ini bukan berarti ziyarah kubur dilarang, yang dilarang adalah
takhayul, bid’ah dan khurofat ketika ziyarah.
Ketiga, sumber-sumber
syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman
Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan pada Muhammad melalui Jibril dan
merupakan sumber paling penting bagi syari’ah. Sunnah Nabi adalah sumber
terpenting kedua, sedangkan Ijma’ adalah sumber ketiga. Ia hanya menerima Ijma’
yang berasal dari tiga abad pertama Islam.
Keempat, Wahhab
menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam
masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus
bertindak atas dasar saran ulama dan komunitasnya.
3. Jamaluddin
al-Afghani (1838-1897)
Jamaluddin lahir di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1838.
Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahiran kemudian melanjutkan ke
kota-kota suci kaum Syi’ah. Di kota ini ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis
Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-Din al-Tusi. Pada umur 22 tahun ia menjadi
pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan, tahun 1864 ia menjadi penasehat Siher Ali
Khan, beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad
Azam Khan. Pada tahun 1889 ia dan pengikutnya membentuk partai Hizbul Wathoni
dan berhasil menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail. Para pengikutnya antara
lain Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Sa’ad Zaghlul dan Ya’kub Sannu. Jamaluddin
bersama muridnya, Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa.
Gagasan
pembaharuan yang diusung Jamaluddin
Pertama, ia
mengemukakan pentingnya kepercayaan pada akal dan hukum alam yang tidak
bertentangan dengan kepercayaan Tuhan, ia mengajarkan hal yang dibela oleh para
filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme pada massa serta hukum alam pada
elite Muslim.
Kedua, ia berhasil mendukung
kebangkitan nasionalisme di Mesir dan India, juga menawarkan gagasan dan
gerakan Pan-Islam sebagai anti imperialisme dan mempertahankan kemerdekaan
Negara-negara Muslim.
Ketiga, ia menyatakan
persamaan gender dalam beberapa hal. Pria dan wanita sama kedudukannya,
keduanya punya akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita bekerja di
luar rumah, jika situasi menuntut demikian.
4. Muhammad
Abduh (1848-1905)
Abduh lahir di Propinsi Gharbiyyah, Mesir, pada tahun 1848, dan
meninggal pada 11 Juli 1905. Ia seorang pecinta ilmu, belajar membaca dan
menulis dari orang tuanya. Ia melanjutkan pendidikan di Thanta, namun kemudian
ia kembali ke kampung halaman karena tidak puas dengan metode pengajarannya.
Namun orang tuanya memerintahkan untuk kambali ke Mesjid Ahmadi di Thanta dan
berguru kepada Syekh Darwisy, kemudian melanjutkan ke al-Azhar. Pada tahun
1871, ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani dan memperoleh pengetahuan
filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti. Selanjutnya ia menjadi pengikut Jamaluddin
dan bersamanya ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan
al-‘Urwah al-Wutsqa. Di Beirut ia lebih banyak
menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab dan menyelesaikan Risalah
al-Tauhid.
Ada
tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya
Pertama, bidang
pendidikan dipusatkan di al-Azhar, ia beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat
pendidikan Mesir dan dunia Islam. Pembaharuan yang dilakukan menyangkut sistem
pengajaran, seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para guru,
bahkan juga mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasisiwa, perpustakaan dan
peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.
Kedua, bidang hukum.
Pada tahun 1899, ia menjadi mufti menggantikan Syeh Hasunah al-Nadawi. Ia meluruskan
pandangan para mufti, bahwa mufti bukan hanya berkhidmat untuk negara, tetapi
juga untuk masyarakat luas.
Ketiga, dalam bidang
wakaf Abduh membentuk Majelis Administrasi Wakaf dan berhasil memasukkan
perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf. Dan
mulai memperbaiki perangkat masjid, pegawai masjid, sampai kepada para imam dan
khatib.
5. Rasyid Ridha
(1865-1935)
Rasyid Ridha lahir di Suriah pada tahun 1865 dan meninggal tahun
1935. Pendidikannya diawali dengan membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung di
kampungnya, Qalamun, Suriah. Setelah lancar membaca dan menulis ia masuk ke
Madrasah ar-Rasyidiyah selama satu tahun. Di sana ia belajar ilmu bumi, ilmu
hitung, ilmu bahasa, seperti nahwu dan saraf, dan ilmu agama, seperti akidah
dan ibadah. Ketika berumur 18 tahun ia kembali melanjutkan studinya ke Madrasah
al-Wataniyyah al-Islamiyyah yang didirikan Syeh Husain al-Jisr, selain menekuni
pelajaran ia juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat
kabar al-‘Urwah al-Wutsqa. Dan ketika Muhammad
Abduh sudah diizinkan kembali ke Mesir dari pengasingannya, Rasyid mengikutinya
pada tahun 1898. Setelah sampai di Mesir ia mengusulkan kepada gurunya,
Muhammad Abduh, untuk menerbitkan majalah yang menyiarkan ide dan pikirannya,
maka terbitlah majalah yang diberi nama al-Manar, sesuai usul
Rasyid Ridha. Ia juga menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum selesai
ditafsirkan oleh gurunya, yang baru sampai pada surah an-Nisa’ ayat
125.
Ide-ide
pembaharuan yang dibawa Rasyid Ridha diantaranya
Pertama, dalam bidang
agama, ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mengamalkan ajaran-ajaran
yang sudah bercampur dengan bid’ah dan khurofat. Ia menegaskan untuk kembali
berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak terikat dengan pendapat-pendapat
ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern. Ia juga
memberikan toleransi bermazhab.
Kedua, dalam bidang
pendidikan ia menghimbau umat Islam untuk menggunakan kekayaan bagi pembangunan
lembaga pendidikan. Rasyid mendirikan sekolah di Cairo pada tahun 1912 dengan
nama Madrasah ad-Da’wah wa al-Irsyad. Sekolah ini mengajarkan ilmu agama,
seperti Al-Qur’an, tafsir, akhlak dan hikmah at-tasyri’,
bahasa Eropa dan ilmu kesehatan.
Ketiga, dalam bidang
politik adalah tentang ukhuwah Islamiah. Ia melihat salah satu penyebab
kemunduran umat Islam karena tidak mempererat ukhuwah Islamiah, untuk itu ia
menyeru kepada umat Islam untuk bersatu kembali dalam betuk khilafah
seperti pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar