“Sar, Sarah”, teriak Rena yang dari halaman parkiran
melambaikan tangannya. “Assalamu’alaikum Ren, kayaknya kamu lagi buru-buru
banget, ada apa?”, “Sar, Besok kita bisa lulus bareng nih, Aku udah dapet acc
dosbingku”, Rena penuh semangat. “Alhamdulillaah, lita urus syarat wisudanya
bareng yuk”, ajak Sarah sambil mulai melangkah menuju ruang tata usaha
fakultasnya. Bagi seorang mahasiswi yang pernah mondok lama, tentu dia paham
bahwa saat urusan satu selesai, segera beralih kepada urusan lain. Kyai di pondoknya dulu juga pernah berpesan
padanya secara khusus, agar senantiasa mengembangkan dirinya dan melesat sejauh
mungkin. Semenjak perpisahannya dengan Aiman tentu dirinya semakin matang untuk
menanggapi segala hal yang mampu membuatnya berhasil dalam hidupnya. Ayah dan
ibu dikampung adalah kekuatannya.
Kesabaran mendidiknya untuk bertahan dari kecewa,
keikhlasan menjadi tumpuannya untuk menentramkan hatinya. Tuhan menjadi
kekuatan terbesarnya. “Mbak Sarah ya, saya sempat membaca skripsi mbak sarah
yang kemarin diujikan saat munaqosah. Bagus sekali tema yang diangkat,
berkarakter”, seorang laki-laki muda dan klimis dengan kacamata yang menandakan
ia suka baca menyapanya di ruang informasi. Dia Pak Malik. Namanya seperti
malaikat, sama dengan ketegasannya pada perkara yang dianggapnya tak sesuai
prinsipnya. “Kata Dr. Sholeh, mbak Sarah mendapat nilai tertinggi di ujian
kemarin ya, selamat sekali lagi. Setelah lulus mau kemana mbak?, kerja atau
lanjut kuliah lagi”, tanyanya mengintrogasi. “InsyaAllah mau kerja dulu pak,
mengembangkan kualitas diri saya dilapangan, kalau ada rizki untuk kuliah lagi
ya insyaAllah mau kuliah lagi”, jawabnya lembut.
Usai dari fakultas Sarah dan Rena memilih kantin untuk
mengisi perut dengan hidangan yang tak membuatnya miskin seketika. “Kamu mau
makan apa Sar?”, “Emm…..mie ayam aja boleh”. “Sar lihat deh, gaya mereka
berdua, apa tidak malu pacaran di depan umum?, dilihatin banyak orang, paling
tidak malu dong sama almamater kita”, Rena ketus. Rena memang sahabat yang
ceplas ceplos kalau ngomong, kadang dia tak sungkan menghampiri dan langsung
menasehati seseorang yang kurang sopan sikap dan tindak tanduknya, tapi dia
adalah pendengar yang baik. “Sudah, biarkan saja, mereka hanya belum tahu
ilmunya”, “iiih…. Sahabatku ini bijak banget sih”. “menasehati orang adalah
kewajiban kita sesame muslim Ren, tapi tidak dimuka umum, itu artinya kita juga
sedang menghinanya, jadi kalau mau negur nanti dibelakang layar ya”, Sarah
menenangkan.
Sepulang dari kampus, Sarah beranjak ke petiduran,
rasanya ia masih gamang untuk menapaki sisi kehidupan yang terlepas dari bangku
kampus dimana dia mengembangkan dirinya soal idealism. Akankah dia sanggup
menapaki hidup ditengah banyak orang yang begitu pragmatis menanggapi hidup
ini?, modal hanya berurusan tentang untung dan rugi. Kesadaran yang mulai
hilang, budaya ketimuran yang mulai tergadaikan. “Pak Malik, mungkin dia adaah
orang yang bisa diajaknya diskusi soal ini karena dia termasuk orang yang
berprinsip”, gumam hatinya. “kenapa malah jadi kepikiran beliau ya?, sudah ah
sholat ashar saja”, sambil berlalu.
Angin disis timur seolah mengajak bercanda, gorden
yang melambai menghantarkan dingin yang tak henti menyapa. Laptop dengan
playlist nasyid perjuangan membawanya pada titik diam. Dia hanyut dalam
pikirannya yang semakin tak karuan. Sisi juangnya memang tinggi. Sarah yang
memilih untuk aktif di organisasi keagamaannya akan mengadakan bakti social di
daerah Gunung Kidul yang setiap kemarau air tak mampu keluar. Bibit pohon sudah
siap, pupuk juga siap tinggal action. Arif, pemuda yang berusaha mendekati
Sarah tiba-tiba melayangkan pesan di seluler Sarah yang tergeletak di meja. “Assalamu’alaikum
Sarah. Selamat malam, besok bisa ketemu?”. “Wa’alaikumussalaam mas Arif, ada
perlu apa ya mas?”, Sarah menjawab pesannya. “Kalau bisa besok ketemu di masjid
kampus, ada yang ingin Ana sampaikan”. “InsyaAllah mas, jam 10 pagi ya mas”,
jawabnya singkat. ”insyaAllah”.
Malam ini berlalu dengan penuh tanya, seolah ada hal
yang harus segera disampaikan Arif kepada Sarah. Satu bayanganpun tak mampu
Sarah duga, karena Arif adalah seniornya dulu. Kini mereka tak lagi setiap saat
bertemu karena Arif telah lulus dan tengah menyelesaikan study S2nya di Mesir,
kebetulan dia sedang libur dan menyempatkan pulang. Semester depan dia selesai
kuliah dan rencana akan mengajar di salah satu kampus bonafit di Jakarta. Rasa
kantuk tak lagi mampu ditahan, kamar kos menjadi tempat paling nyaman baginya
saat ia harus menumpahkan kelelahannya dan menenangkan pikirannya.
“Assalamu’alaikum dek Sarah”, Arif datang dengan temannya
yang terlihat lebih tua. “Wa..wa’alaikumussalaam mas”, jawab Sarah gugup
melihat Arif yang berbeda 180 derajat. “Sendirian saja dek?”, tanya Arif
membuka obrolan. “Iya mas, kebetulan Rena sedang ada acara keluarga jadi
berhalangan menemani”. “Kenalkan ini teman mas, namanya mas Ridwan pingin ke
Indonesia katanya”. Ada kecemasan yang membuat tangan Sarah tiba-tiba kaku dan
dingin. Panggilannya kepada Sarah yang tiba-tiba berubah menjadi “dek” seolah
menyiratkan tanda tanya besar, apa sebenarnya maksud Arif mengajaknya bertemu
dan mendadak seolah esok sudah tak ada lagi hari untuknya. Berdebar dan gugup
dengan tatapan yang sengaja ia sembunyikan, wajah yang tersipu penuh
kecanggungan. Masjid itu kini serasa hanya ada mereka, tanpa kata yang konstan
diucapkan dan tanpa suara yang menjadi peramai. Jilbab maroon yang dikenakannya
terlihat menambah rona wajah Sarah yang putih bersih, sehingga semburat merah
hadir di pipinya. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar