Berbicara Islam
tidak akan pernah berhenti jika hanya berhenti pada definisi dan bukan pada
aksi ber Islam. Sepengetahuan penulis agama itu lahir sebagai unsur kondisi dan
kebudayaan suatu zaman sebagai ritus ketuhanan yang sifatnya mistis. Perubahan
sosio kultural menentukan banyak arah agama, yang melahirkan berbagai dimensi
keberagamaan. Perubahan-perubahan ini secara linear maupun non linear mampu
menjangkiti bagaimana umat beragama mentransformasikan nillai agama di dalamnya.
Munculnya
ekstrimisme juga ditentukan bagaimana orang memandang agama, dengan tetap
bertahan pada ortodoksi awal lahirnya agama. Ketetapan dalam berpandangan
ektrimis ini juga mengakibatkan penilaian yang diasumsikan pada bahwa Islam
sebagai agama tidak dapat bergabung dan bertemu dengan nilai yang kini
berkembang, ilmu pengetahuan misalnya, bahkan nilai kultural yang berkembang
masa kekinian, toleransi contohnya dan hal ini yang kemudian mengarah pada
kekerasan beragama.
Agama yang lahir
diberbagai benua dan wilayah adalah respon dari kondisi masing-masing kebijakan
politik saat itu. Bukan mempolitisasi agama untuk kepentingan elite politik.
Agama menjadi solusi untuk
membangun sesuai spirit kenabian tentunya akan lebih bijak daripada harus
mendiskriditkan agama untuk kepentingan kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan
politik.
Indonesia dengan
pancasila yang kini beku akan aksi, seolah pancasila hanya produk sejarah yang
kini hanya tinggal dinikmati cerita asal usulnya saja. Sudah tidak ada aksi nyata
yang mencerminkan nilai pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuat elite
penguasa. Dan respon agama bisa terjadi karena kekosongan ini, respon akan
perasaan nir keadilan dan nir keberpihakan maka akan melahirkan kondisi
keagamaan yang bisa bersifat ekstrim. Agama yang seharusnya mejadi pilar
keadilan, penyeimbang sosio kultur, pengayom dan tanpa diskriminasi bisa berubah garang karena
kondisi yang tidak lagi berpihak padanya. Walau bagaimanapun agama yang tidak
dapat hidup dalam lingkungan kenegaraan akan tersingkir oleh kebijakan buta
yang tidak sesuai.
Sporadis agama radikal
akan mati dan hilang jika dikontekskan dalam khazanah keindonesiaan karena
elite dan hukum yang mengatur, tetapi
sebagaimana penulis ungkapkan diawal bahwa hal ini tidak menjamin jika hukum
dan kekuasaan tidak berpihak artinya agama harus menuntut keadilan jika tidak adil, agama
harus menjadi solusi akan persoalan yang tengah ada. Agama yang ramah dan
mengayomi. Agama radikal tidak akan muncul selama sistem ideologi masih mampu
menampung sistem agama yang ada disuatu negara.
Menurut penulis,
akan lebih apik
dan bijaksana maka Ideologi agama ini sharusnya mampu mengusung nilai-nilai
yang berkemanusiaan, misi pembebasan. Islam hanya berisi tentang tradisi yang
tradisionalis dari kelompoknya, kepercayaan nenek moyang, perasaan individu,
ritual, kebiasaan, praktik yang berlangsung dari waktu-ke waktu oleh pemeluknya
sebagaimana yang disampaikan Ali Syariati dalam penyikapan mengenai sosioligi
Islam. Yang secara objektive Islam memberikan pengaruh kepada perubahan sosial.
Inilah poin penting dari keberadaan agama erlepas dari historisitas
kemunculannya.
Dalam bentuk ini
tentu dibutuhkan tradisi keilmuan yang bisa membangun paradigma keagamaan
terutama Islam. Jika tradisi keilmuan ini dilestarikan maka akan lebih mengacu
pada doktriner agama dan tauhid sebagai ajaran yang membebaskan ketertindasan
dan belenggu struktural. Kajian tradisi keilmuan ini menjadi pintu akan
terbukanya wawasan substansi kontekstual bukan tekstual sehingga menyentuh pada
aspek sosio praksisnya. Sehingga Islam bisa dinikmati oleh berbagai kalangan
sebagai bukti agama pembebas ketertindasan dan agama sejatinya non
diskriminatif.
Allahu A’lam .
Nining Ernawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar