Satu
Wajah, Beribu Cerita
Kesenian
tradisional itu menjadi satu moment dimana aku harus mengingat saat masih duduk
disekolah dasar. Melihat orang yang “kerasukan” dalam kesenian tradisional
adalah keniscayaan karena disitulah orang beranggapan bahwa itu “seni”nya.
Kebetulan malam ini adalah malam Senin, bukan malam Minggu dimana malamnya para
pencinta.
Burung
malam itu begitu akrab dalam pendengaran yang sudah biasa Aku dengar, dan
disana aku merasa bahwa aku benar-benar sendiri. Segala hal yang terjadi aku
kisahkan dalam romantisme malam yang tidak lelah menjadi tempat dimana aku
keluhkan segala sesuatunya kepadanya dan penciptanya. Aku tidak pandai
memanjatkan harapanku dengan bahasa-bahasa orang timur tengah (Arab), tetapi
aku lebih suka melakukan pendekatan dengan bahasaku sendiri. Keyboard ini hanya
sebagai sebagian kecil perantara yang ada untukku menambatkan segalanya. Dan
aku tulis kisah ini dengan mengulik beberapa memori manis yang sudah sedikit
terkubur oleh folder baru didalam otakku.
Aku dan kau, kita sering bertengkar dalam satu
kelas hingga aku benar-benar merasa bersalah padamu. Kau, yang aku anggap
sebagai seorang yang menjadi saingan terberatku saat itu. Ujian nasional masih
menjadi “momok” yang menyeramkan hingga aku benar-benar meletakkan semua ambisi
didalamnya. Tidak akan aku kecolongan menjadi yang kedua atau seterusnya, aku
harus menjadi yang pertama. Usiaku dan usiamu memang lebih banyak kau setahun,
tetapi aku tidak mau kau mengalahkanku. Diantara pesaing perempuan kau pesaing
laki-laki yang paling tinggi tingkatnya dibandingkan teman laki-laki sekelas
kita. Gaya bicaramu yang cadel membuatku tertawa saat kau mencoba memberikan
lelucon, karena harus fasih menata satu per satu kata yang akan kau ucapkan,
terutama untuk huruf “r” yang sampai lulus SD pun kau tak mampu melafalkannya
dengan fasih. Aku mencoba mengingatmu jauh dari dalam kotak yang tersimpan.
Hanya uraian semasa kita sekolah dasar, tidak lebih karena setelah itu aku tak
lagi mendengarmu berbicara, sekolah kita seudah berbeda. Tapi masa-masa yang dulu
konyol kini begitu romatis dengan huruf yang terangkai dan secangkir kopi yang
menemaniku menulis kala gerimis dan lagu romantis group vokal “Westlife”.
Haruskah aku menyebutkan namamu disini?,
sepertinya tidak perlu tapi potongan nama yang dimiliki seorang comic
yang menjadi idolaku itu ada namamu, dalam alquran juga ada namamu, nama
belakangmu adalah surat dialam kitab yang aku sering bawa, dan aku teringatkan
kau karena aku melihat kesenian itu dari desamu. Ah, entah apa yang aku
harapkan aku hanya berharap bisa menyapa dan melihatmu, tetapi diantara wajah
asing itu aku masih melihat orang yang aku kenal tapi tidak dengan wajahmu anak
cadel. Kau masih ingat dengan guyonanmu yang awalnya hanya sebuah keluh kesah
karena kita harus berbaris disiang yang sangat panas berlatih baris-berbaris
dan latihan upacara, kau yang saat itu berada dibelakangku mengeluh “lah,
panase koyo digodhog” (lah, panasnya seperti direbus.Indored). Suasana serius
dan konsentrasiku pecah kala itu hingga aku hanya mampu menahan tertawa
mendengar logat cadelmu, aku lebih suka memanggilmu dengan sebutan Raditya bagi
diriku sendiri, walaupun yang lain menyebutmu dengan nama tengahmu begitu juga
aku jika aku memanggilmu didepan kawan-kawan kita. Setelah beristirahat kau
kembali pada rutinitasmu bersama teman-temanmu, kau adalah pesaingku yang
paling manis. Kakak kandungmu yang satu kelas dengan kakak sepupuku menjadi
alasan bahwa aku ingin menemuimu satiap pulang sekolah. Kau tahu, kalau dulu
aku sering bermain dengan kakak sepupuku, mengajaknya kerumahmu agar aku bisa
bertemu denganmu, dan saat itulah kata pertama dari kakak sepupuku meledekku
“jare saingan, kok meh ketemu?”(katanya saingan kenapa pingin ketemu?.Indored).
Ya, aku menjadikanmu sainganku karena kau salah satu siswa pandai dikelas, bukan
karena aku menguntitmu waktu itu. Ah, kenapa bahasanya menguntit ya, karena itu
adalah asmara anak SD.
Hari kelulusan hampir tiba, aku bisa menduduki
peringkat 3 saat kelulusan, dan kau 7. Aku bangga bisa mengalahkanmu Dit, tapi
aku juga kecewa dengan kedudukanku itu, harusnya aku bisa menjadi peringkat
pertama. Setelah perpisahan aku tidak lagi melihatmu, cukup tahu bahwa kau kini
meneruskan pendidikanmu disekolah tinggi kesehatan, mungkin sudah lulus karena
aku juga seharusnya sudah lulus, tapi jalan kita berbeda. Kau dengan jalanmu
dan aku dengan jalanku.
Kau masih ingat kejadian dibawah pohon kelapa
aku selipkan sebuah surat untukmu sebelum kita benar-benar terpisah, aku tidak
tahu secara pasti apakah kau membacanya atau tidak. Bukan surat cinta atau
surat pengakuan aku menyukaimu, hanya sebuah surat ucapan selamat atas
kelulusan kita, dan ucapan selamat sudah bisa diterima di sekolah negeri ketika
SMP, negeri 1 tapi aku harus mengakui bahwa keluargaku lebih menyukai madrasah
tsanawiyah, dan tahukah kamu kawan saat SMA aku menjadi satu sekolah dengan
seorang perempuan yang katanya dulu pernah menjadi pacarmu ketika SMP, langkah
berani yang kau ambil diusia semuda itu, langkah yang tidak pernah aku mampu
melakukan itu kawan. Sampai akhirnya kita benar-benar tidak ada kabar salama
bertahun-tahun lamanya bahkan sampai saat ini, saat aku menulis cerita ini.
Menuliskan pengakuan dan entah apa ini, kisah SD.
Dimanapun kau berada kawan, banyak hal yang
ingin aku tanyakan padamu terkait kesibukanmu, kalau ini bukan untuk menyaingi
kesibukanmu dengan kesibukanku hanya sapaan teman lama yang mencoba akrab
kembali. Seperti lagu yang akan aku ulangi terus menerus tanpa bosan, bahwa aku
juga tidak akan bosan mengingat bagaimana kisahku saat masih sekolah dasar
bersama kawan-kawan yang lain, dalam pikiranku, semua masih tampak seperti hal
yang asik jika bisa diulangi lagi. Bagaimana keseruan kita semua saat
menghadapi suntikan campak kelas 1 SD, berlari kesana kemari mencari
perindungan hanya karena ketakutan yang ditimbulkan karena provokasi kakak
kelas, dibawah meja, didalam lemari, kamar mandi, bahkan ngumpet
diruanganpenjada sekolah, sambil makan cenolan yang dicampur sambal. Ingat saat
bermain suntikan air dan keisenganku muncul, menyuntik pantat anak laki-laki
diam-diam dan membuat celananya basah dan menangis. Bermain, berlari dilapangan
yang masih teduh dengan pohon rambutan, kolam pasir yang kadang bau kotoran
kucing, disana dulu kita bersama-sama, mengukir berbagai cita-cita. Ruangan
tidak seberapa besar yang didepannya ada bunga nusa indah putih yang setiap
pagi tak bosan melihatnya putih, dan meliuk.
Kau dan semua kawan-kawan adalah barisan cerita
yang tidak habis dikisahkan dalam semalam saat kita semua bertemu nantinya.
Salam
rinduku untukmu kawan-kawanku,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar