Rabu, 07 November 2018

Cinta Di Atas Rahmat (2)


“Sar, Sarah”, teriak Rena yang dari halaman parkiran melambaikan tangannya. “Assalamu’alaikum Ren, kayaknya kamu lagi buru-buru banget, ada apa?”, “Sar, Besok kita bisa lulus bareng nih, Aku udah dapet acc dosbingku”, Rena penuh semangat. “Alhamdulillaah, lita urus syarat wisudanya bareng yuk”, ajak Sarah sambil mulai melangkah menuju ruang tata usaha fakultasnya. Bagi seorang mahasiswi yang pernah mondok lama, tentu dia paham bahwa saat urusan satu selesai, segera beralih kepada urusan lain.  Kyai di pondoknya dulu juga pernah berpesan padanya secara khusus, agar senantiasa mengembangkan dirinya dan melesat sejauh mungkin. Semenjak perpisahannya dengan Aiman tentu dirinya semakin matang untuk menanggapi segala hal yang mampu membuatnya berhasil dalam hidupnya. Ayah dan ibu dikampung adalah kekuatannya.
Kesabaran mendidiknya untuk bertahan dari kecewa, keikhlasan menjadi tumpuannya untuk menentramkan hatinya. Tuhan menjadi kekuatan terbesarnya. “Mbak Sarah ya, saya sempat membaca skripsi mbak sarah yang kemarin diujikan saat munaqosah. Bagus sekali tema yang diangkat, berkarakter”, seorang laki-laki muda dan klimis dengan kacamata yang menandakan ia suka baca menyapanya di ruang informasi. Dia Pak Malik. Namanya seperti malaikat, sama dengan ketegasannya pada perkara yang dianggapnya tak sesuai prinsipnya. “Kata Dr. Sholeh, mbak Sarah mendapat nilai tertinggi di ujian kemarin ya, selamat sekali lagi. Setelah lulus mau kemana mbak?, kerja atau lanjut kuliah lagi”, tanyanya mengintrogasi. “InsyaAllah mau kerja dulu pak, mengembangkan kualitas diri saya dilapangan, kalau ada rizki untuk kuliah lagi ya insyaAllah mau kuliah lagi”, jawabnya lembut.
Usai dari fakultas Sarah dan Rena memilih kantin untuk mengisi perut dengan hidangan yang tak membuatnya miskin seketika. “Kamu mau makan apa Sar?”, “Emm…..mie ayam aja boleh”. “Sar lihat deh, gaya mereka berdua, apa tidak malu pacaran di depan umum?, dilihatin banyak orang, paling tidak malu dong sama almamater kita”, Rena ketus. Rena memang sahabat yang ceplas ceplos kalau ngomong, kadang dia tak sungkan menghampiri dan langsung menasehati seseorang yang kurang sopan sikap dan tindak tanduknya, tapi dia adalah pendengar yang baik. “Sudah, biarkan saja, mereka hanya belum tahu ilmunya”, “iiih…. Sahabatku ini bijak banget sih”. “menasehati orang adalah kewajiban kita sesame muslim Ren, tapi tidak dimuka umum, itu artinya kita juga sedang menghinanya, jadi kalau mau negur nanti dibelakang layar ya”, Sarah menenangkan.
Sepulang dari kampus, Sarah beranjak ke petiduran, rasanya ia masih gamang untuk menapaki sisi kehidupan yang terlepas dari bangku kampus dimana dia mengembangkan dirinya soal idealism. Akankah dia sanggup menapaki hidup ditengah banyak orang yang begitu pragmatis menanggapi hidup ini?, modal hanya berurusan tentang untung dan rugi. Kesadaran yang mulai hilang, budaya ketimuran yang mulai tergadaikan. “Pak Malik, mungkin dia adaah orang yang bisa diajaknya diskusi soal ini karena dia termasuk orang yang berprinsip”, gumam hatinya. “kenapa malah jadi kepikiran beliau ya?, sudah ah sholat ashar saja”, sambil berlalu.
Angin disis timur seolah mengajak bercanda, gorden yang melambai menghantarkan dingin yang tak henti menyapa. Laptop dengan playlist nasyid perjuangan membawanya pada titik diam. Dia hanyut dalam pikirannya yang semakin tak karuan. Sisi juangnya memang tinggi. Sarah yang memilih untuk aktif di organisasi keagamaannya akan mengadakan bakti social di daerah Gunung Kidul yang setiap kemarau air tak mampu keluar. Bibit pohon sudah siap, pupuk juga siap tinggal action. Arif, pemuda yang berusaha mendekati Sarah tiba-tiba melayangkan pesan di seluler Sarah yang tergeletak di meja. “Assalamu’alaikum Sarah. Selamat malam, besok bisa ketemu?”. “Wa’alaikumussalaam mas Arif, ada perlu apa ya mas?”, Sarah menjawab pesannya. “Kalau bisa besok ketemu di masjid kampus, ada yang ingin Ana sampaikan”. “InsyaAllah mas, jam 10 pagi ya mas”, jawabnya singkat. ”insyaAllah”.
Malam ini berlalu dengan penuh tanya, seolah ada hal yang harus segera disampaikan Arif kepada Sarah. Satu bayanganpun tak mampu Sarah duga, karena Arif adalah seniornya dulu. Kini mereka tak lagi setiap saat bertemu karena Arif telah lulus dan tengah menyelesaikan study S2nya di Mesir, kebetulan dia sedang libur dan menyempatkan pulang. Semester depan dia selesai kuliah dan rencana akan mengajar di salah satu kampus bonafit di Jakarta. Rasa kantuk tak lagi mampu ditahan, kamar kos menjadi tempat paling nyaman baginya saat ia harus menumpahkan kelelahannya dan menenangkan pikirannya.
“Assalamu’alaikum dek Sarah”, Arif datang dengan temannya yang terlihat lebih tua. “Wa..wa’alaikumussalaam mas”, jawab Sarah gugup melihat Arif yang berbeda 180 derajat. “Sendirian saja dek?”, tanya Arif membuka obrolan. “Iya mas, kebetulan Rena sedang ada acara keluarga jadi berhalangan menemani”. “Kenalkan ini teman mas, namanya mas Ridwan pingin ke Indonesia katanya”. Ada kecemasan yang membuat tangan Sarah tiba-tiba kaku dan dingin. Panggilannya kepada Sarah yang tiba-tiba berubah menjadi “dek” seolah menyiratkan tanda tanya besar, apa sebenarnya maksud Arif mengajaknya bertemu dan mendadak seolah esok sudah tak ada lagi hari untuknya. Berdebar dan gugup dengan tatapan yang sengaja ia sembunyikan, wajah yang tersipu penuh kecanggungan. Masjid itu kini serasa hanya ada mereka, tanpa kata yang konstan diucapkan dan tanpa suara yang menjadi peramai. Jilbab maroon yang dikenakannya terlihat menambah rona wajah Sarah yang putih bersih, sehingga semburat merah hadir di pipinya. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar

Rambu Materi Aqidah Akhlak X PTS Genap

  Malaikat adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan untuk membantu tugasNya dalam mengawasi manusia. Malaikat tidak daat dilih...