Rabu, 07 Februari 2018

Humanisme Pendidikan


Pendahuluan
Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia sedang menjadi sorotan tajam. Kasus penganiayaan berbuntut hilangnya nyawa seorang guru di salah satu sekolah negeri berbuntut pada hilangnya sebuah kesadaran akan nilai pendidikan. Kasus lain dapat dilihat saat munculnya berbagai kekerasan baik fisik, seksual oleh seorang guru. Kondisi yang demikian itu bukan semata karena persoalan moral dan etika, namun ada unsur kesadaran yang tidak terbangun dari sebuah nilai yang bersifat mutlak (wahyu/Alquran). Konsep Iqra' dalam memahaminya menjadi hilang bahkan tidak dapat memaknainya dengan baik. Berawal dari tidak memahami, memaknai sehingga menjadikan setiap jengkal kehidupan menjadi hambar tanpa nilai. Kontekstualisasi pendidikan yang mengalami disoriented dan lebih menekankan aspek materi dibandingkan spiritualitas (Kamal, 2018). Disorientasi ini sudah terjadi dan menjadi penyakit, dengan adanya sekolah unggul dan standardisasi nilai, menjadikan pola pendidikan yang tidak sehat. Tidak ada kepedulian tentang aspek spiritualitas namun yang menjadi fokus hanya pencapaian nilai yang harus memenuhi KKM (Kriteria Kelulusan Minimal). Minimnya akhlaq dalam penyampaian materi, yang tanpa diselipkan bahkan tidak ditekankan dalam penerapan kehidupan sehari-hari menyebabkan tujuan pendewasaan dalam pendidikan tidak tercapai dengan baik. Konsepsi pendewasaan dapat dimaknai sebagai proses pengambilan keputusan benar dan salah, baik dan buruk. Konsep munculnya spiritualitas dapat dimulai dari skema berikut ini menurut PP Muhammadiyah dalam Membangun Pendidikan Muhammadiyah:
1. Masalah dan tantangan -----radar hati-----orientasi spiritulisme tauhid-----emosi terkendali (tenang, damai)-----god spot terbuka-----suara hati spiritual bekerja-----logika berjalan normal-----IQ, SQ, EQ-----Mata kecerdasan.
2. Masalah dan tantangan-----orientasi materialisme-----emosi tidak terkendali (marah, sedih, kesal)-----god spot tertutup-----logika tidak bekerja normal-----IQ, SQ, EQ berjalan secara terpisah.
Kedua cabang itu menggambarkan bahwa ada yang hilang yakni pelibatan hati juga orientasi yang digunakan dalam memaknai masalah dan tantangan sebagai wujud proses penanaman kedewasaan sehingga melahirkan manusia paripurna sebagaimana tujuan pendidikan. Dalam kerangka spiritualisme dapat mengacu pada pemaknaan keilmuan yang menyeluruh tanpa dikotomisasi. Hati melihat melalui hikmah yang masuk dan dicerna sebagai kebijaksanaan dan hati juga menempatkan dirinya untuk dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh akal. Bukan hal yang mudah memaknai segala sesuatu melalui hati karena hati bekerja berdasarkan pemahaman ilham. Spiritualitas yang terbina dengan baik akan menjadikan emosi terkendali karena setiap keputusan diambil secara seimbang dan menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Kedamaian, ketenangan tersebut menghindarikan diri seseorang terjauh dari kecongkakan, keserakahan, kesombongan dan menuntun pada kebaikan karena titik Tuhan pada diri manusia terbuka. Terbukannya God Spot itulah yang akan menghadirkan ketundukan, kepatuhan, jiwa yang merasa takut akan dosa, kehati-hatian dan mawas diri. God spot tersebut melahirkan suara hati spiritual yang memancing logika berjalan secara normal dan tidak begitu menggebu dalam hal-hal yang dinilai menarik baginya namun tidak memberikan manfaat bagi manusia yang lain maupun umat pada umunya. Intelektual, spiritual, emosional muncul secara penuh dan menyatu dan melahirkan mata kecerdasan yang hidup dalam sebuah pribadi. 
Berbeda dengan cabang yang kedua yakni jika materialisme sebagai orientasinya sungguh pembawaan logika akan berjalan begitu pragmatis dan cenderung berbuat kesimpulan yang berdasarkan pada pandangan sementara. Kekuatan materi yang begitu kuat akan mengarahkan pada capaian-capaian individu yang apabila capaian tidak sesuai pada keinginan individu maka akan menuntunnya pada perbuatan yang cenderung destruktif (merusak) karena logika yang berjalan tidak normal. Pola kecenderungan destruktif itu melahirkan God Spot yang tertutup dengan segala pola yang menyertainya karena tidak ada ketakutan dan ketundukan yang meliputi dirinya, sehingga intelektual, spiritual, emosional tidak dapat terbangun dengan baik, sehingga tidak memunculkan manusia paripurna yang dewasa dan memiliki kecenderungan nilai. 
A. Humanisme Pendidikan
Pendidikan yang memanusiakan manusia dapat dimulai dengan memahami karakter setiap pelaku pendidikan baik itu guru sebagai sumber pengetahuan, siswa sebagai objek pendidikan dan kurikulum sebagai bentuk pendidikan.
1. Guru Sebagai Sumber Pendidikan
Guru menjadi sumber pengetahuan dan nilai bagi peserta didik. Ia berdiri sebagai penyampai materi yang menyampaikan pengetahuan, sehingga darinyalah segala bentuk siswa yang akan dicetak bersumber. Persoalan yang muncul pada masa kini adalah guru bukan satu-satunya sumber belajar bagi siswa karena munculnya internet yang bahkan dapat menjawab pertanyaan yang guru tidak dapat menjawab pertanyaannya. Apabila dicermati penulis tidak menggunakan istilah guru sebagai satu-satunya sumber pendidikan karena konsepsi pengetahuan dengan pendidikan berbeda. Pengetahuan tidak dapat menjadikan manusia menempati derajat dewasa namun pendidikan mampu. Guru sebagai sumber pendidikan bukan hanya sebatas menyampaikan materi pengetahuan namun menyampaikan nilai dengan keteladanan. Dapat diperhitungkan bahwa capaian pendidikan tanpa nilai dan keteladanan dan hanya mengandalkan pengetahuan maka siswa yang mana yang akan berbuat baik jika si guru tidak berbuat baik. Transformasi pendidikan yang muncul sebagai dasar pencapaian tujuan menjadi alasan bahwa setiap pendidikan harus mampu menempatkan dirinya sebagai langkah pemecah persoalan (solusi). Guru menjadi penyeimbang yang berperan penting dalam ketercapaian tujuan pendidikan karena guru adalah filter yang mampu memberikan pemahaman dalam memahami sesuatu yang tidak disertai penjelasan. Internet melahirkan manusia instan yang hanya mampu membaca menuli namun tidak paham. Kontekstualitas internet yang mencakup hal yang beraneka ragan, bukan hanya hal yang bersifat positif, namun hal yang negatif juga bahkan jauh lebih dominan. Guru tidak dapat menutup mata dan mengingkarinya sehingga mau atau tidak mau, suka atau tidak suka guru harus melek gadget. Guru memahamkan siswa bahwa hal ini, hal itu tidak sesuai norma dan tidak boleh menjadi ajaran dan diterapkan dalam kehidupan. Guru dengan keteladannya mampu menyentuh hati dan sanubari yang dirasakan peserta didik sehingga idola yang dimiliki bukan artis namun gurunya disekolah. Guru menjadi teman yang merangkul bukan menghakimi apalagi melukai peserta didik. Ilmu dan nilai diberikan guru secara seimbang dan tidak mendeskriditkan salah satunya. 
2. Siswa Sebagai Objek Pendidikan 
Sasaran utama pendidikan adalah siswa sebagai generasi penerus bangsa yang akan dibentuk berdasarkan pola pendidikan yang berlangsung. Siswa harus dibentuk melalui pendidikan dan pendidikan tersebut akan membangun karakter yang diinginkan setiap jenjang peserta didiknya. Dalam psikologi pendidikan siswa diibaratkan kertas putih yang masih kosong sehingga ia menjadi satu-satunya media untuk menuliskan berbagai tujuan dan watak yang akan dibentuk. Siswa sebagai objek pendidikan memiliki arti yang lebih spesifik adalah berbagai tumpahan ilmu pengetahuan dan nilai adalah siswa. Kesadaran penuh yang harus dimiliki adalah bahwa siswa merupakan makhluk yang dinamis yang diberi akal untuk perkembangan dirinya dan perkembangan lingkungan sekitarnya. Siswa bukanlah robot yang bahkan bisa dibentuk dengan kasar dan hal yang dapat membatasi perkembangannya. Dinamisnya akal menjadikan siswa tidak perlu dipaksa sedemikian rupa bahkan dengan kekerasan untuk mampu memenuhi tugas tertentu, namun lebih pada membimbing dan memfasilitasi setiap daya pikir yang dikembangakannya. Siswa dengan kelebihannya dapat dikembangkan sehingga mampu menunjang kehidupannya dimasa mendatang dan memberikan nilai kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya dan masyarakat pada umumnya. 
3. Kurikulum Sebagai Bentuk Pendidikan
Dalam membentuk siswa sebagai objek pendidikan maka dibutuhkan cetakan yang akan membentuknya dalam bentuk kurikulum pendidikan. Kurikulum adalah landasan bagaimana proses pendidikan dan segala aktivitasnya dapat dilaksanakan. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi disana. Proses pembelajaran dalam pendidikan harus menampilkan karakter yang akan dibangun sehingga mampu mengetahui aspek spiritual, intelektual dan emosional (afektif, psikomotorik, dan kognitif) yang masuk didalamnya. Kurikulum hendaknya dibangun berdasarkan jangka panjang arah pembentukan bangsa. Kemajuan suatu negara tentu salah satunya adalah aspek pendidikan. Kurikulum sebagai manifestasi cita-cita yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yang disejajarkan berdasarkan jenjang pendidikannya. Kurikulum yang menjadi acuan harus mampu menjawab kebutuhan dan disusun secara dinamis sedinamisnya manusia atau siswa yang menjadi objek penerima kurikulum dan guru sebagai pelaksananya. Kurikulum yang dibangun harus atas dasar humanisme karena dengan dasar tersebut akan menuntun pelaksanaannya dengan manusiawi
B. Humanisme Pendidikan Sebagai Solusi Persoalan Pendidikan
Hilangnya nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dapat disebabkan karena proses memanusiakan-manusia yang tidak berjalan dengan baik dan sempurna. Humanisme pendidikan dapat menjadi solusi persoalan tersebut karena humanisme mengusung memberdayakan siswa (peserta didik) dan mengembangkan kemampuan serta kompetensi yang dimilikinya. Humanis berarti mendampingi dengan sepenuh jiwa bahwa proses pendidikan mencerminkan pendayagunaan dan pembebasan bukan hanya sebatas pengisian. Spirit pembebasan inilah yang dibawa sebagai bukti bahwa manusia dapat berkembang dan dapat berdaya guna ketika kebodohan, kemiskinan dan bentuk kelemahan dapat dihilangkan dan digantikan dengan kekuatan yang membangun dirinya. Konsep memanusiakan manusia sepenuhnya dilaksanakan dengan kesadaran pertumbuhan akal yang dimiliki oleh manusia sehingga ia mampu mentadabburi dirinya sengan baik. Meminjam istilah al Ghazali bahwa pengetahuan dan nilai itu dibangun atas dasar 2 hal yakni yang bersifat fardhu 'ayn dan kifayah. Perbedaan keduanya terletak pada kewajiban mempelajari ilmu agama, ilmu dasar bahasa adalah wajib, sedangkan ilmu yang tidak wajib adalah keilmuan yang sifatnya dapat diwakilkan oleh orang lain. Paradigma ini membawa manusia pada puncak berpikir bahwa dalam setiap proses pendidikan harus menerapkan aspek pembebasan. Humanisme yang dibangun menjadi pondasi dalam menanamkan nilai dan karakter sehingga akan berbanding lurus antara pengetahuan yang dimiliki dengan kualitas sikap yang dibangun. Cerdas dalam ilmu pengetahuan namun juga cerdas memaknai agamanya, dan sikapnya. Proses yang mendampingi, memelihara, memberdayakan tentu membentuk pribadi peduli dan berkembang sesuai jati dirinya. Lahirnya manusia beradab jika dalam latar belakang pendidiknya juga beradab, maka nilai kesusilaan muncul sebagai jawaban sekaligus kebutuhan yang senantiasa dibangun. Hal ini meminimalisir adanya penyimpangan moral dan etika yang terjadi dikalangan pendidik maupun peserta didik.

Referensi : 
1. Faturrahman Kamal, Lc., 2018, 19 Januari dalam Seminar Pesantren
2. Buku PP Muhammadiyah membangun Pendidikan Muhammadiyah
3. Imam Suprayogo dalam Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi

Tulisan ini ditulis dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran sederhana akan persoalan pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar

Rambu Materi Aqidah Akhlak X PTS Genap

  Malaikat adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan untuk membantu tugasNya dalam mengawasi manusia. Malaikat tidak daat dilih...