Jumat, 11 Januari 2019

Wacana Islam


       Berbicara Islam tidak akan pernah berhenti jika hanya berhenti pada definisi dan bukan pada aksi ber Islam. Sepengetahuan penulis agama itu lahir sebagai unsur kondisi dan kebudayaan suatu zaman sebagai ritus ketuhanan yang sifatnya mistis. Perubahan sosio kultural menentukan banyak arah agama, yang melahirkan berbagai dimensi keberagamaan. Perubahan-perubahan ini secara linear maupun non linear mampu menjangkiti bagaimana umat beragama mentransformasikan nillai agama di dalamnya.
      Munculnya ekstrimisme juga ditentukan bagaimana orang memandang agama, dengan tetap bertahan pada ortodoksi awal lahirnya agama. Ketetapan dalam berpandangan ektrimis ini juga mengakibatkan penilaian yang diasumsikan pada bahwa Islam sebagai agama tidak dapat bergabung dan bertemu dengan nilai yang kini berkembang, ilmu pengetahuan misalnya, bahkan nilai kultural yang berkembang masa kekinian, toleransi contohnya dan hal ini yang kemudian mengarah pada kekerasan beragama.
      Agama yang lahir diberbagai benua dan wilayah adalah respon dari kondisi masing-masing kebijakan politik saat itu. Bukan mempolitisasi agama untuk kepentingan elite politik. Agama menjadi solusi untuk membangun sesuai spirit kenabian tentunya akan lebih bijak daripada harus mendiskriditkan agama untuk kepentingan kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan politik.
Indonesia dengan pancasila yang kini beku akan aksi, seolah pancasila hanya produk sejarah yang kini hanya tinggal dinikmati cerita asal usulnya saja. Sudah tidak ada aksi nyata yang mencerminkan nilai pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuat elite penguasa. Dan respon agama bisa terjadi karena kekosongan ini, respon akan perasaan nir keadilan dan nir keberpihakan maka akan melahirkan kondisi keagamaan yang bisa bersifat ekstrim. Agama yang seharusnya mejadi pilar keadilan, penyeimbang sosio kultur, pengayom dan  tanpa diskriminasi bisa berubah garang karena kondisi yang tidak lagi berpihak padanya. Walau bagaimanapun agama yang tidak dapat hidup dalam lingkungan kenegaraan akan tersingkir oleh kebijakan buta yang tidak sesuai.
          Sporadis agama radikal akan mati dan hilang jika dikontekskan dalam khazanah keindonesiaan karena elite dan hukum  yang mengatur, tetapi sebagaimana penulis ungkapkan diawal bahwa hal ini tidak menjamin jika hukum dan kekuasaan tidak berpihak artinya agama harus menuntut keadilan jika tidak adil, agama harus menjadi solusi akan persoalan yang tengah ada. Agama yang ramah dan mengayomi. Agama radikal tidak akan muncul selama sistem ideologi masih mampu menampung sistem agama yang ada disuatu negara.
     Menurut penulis, akan lebih apik dan bijaksana maka Ideologi agama ini sharusnya mampu mengusung nilai-nilai yang berkemanusiaan, misi pembebasan. Islam hanya berisi tentang tradisi yang tradisionalis dari kelompoknya, kepercayaan nenek moyang, perasaan individu, ritual, kebiasaan, praktik yang berlangsung dari waktu-ke waktu oleh pemeluknya sebagaimana yang disampaikan Ali Syariati dalam penyikapan mengenai sosioligi Islam. Yang secara objektive Islam memberikan pengaruh kepada perubahan sosial. Inilah poin penting dari keberadaan agama erlepas dari historisitas kemunculannya.
      Dalam bentuk ini tentu dibutuhkan tradisi keilmuan yang bisa membangun paradigma keagamaan terutama Islam. Jika tradisi keilmuan ini dilestarikan maka akan lebih mengacu pada doktriner agama dan tauhid sebagai ajaran yang membebaskan ketertindasan dan belenggu struktural. Kajian tradisi keilmuan ini menjadi pintu akan terbukanya wawasan substansi kontekstual bukan tekstual sehingga menyentuh pada aspek sosio praksisnya. Sehingga Islam bisa dinikmati oleh berbagai kalangan sebagai bukti agama pembebas ketertindasan dan agama sejatinya non diskriminatif.
Allahu A’lam . Nining Ernawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar

Rambu Materi Aqidah Akhlak X PTS Genap

  Malaikat adalah salah satu makhluk Allah yang diciptakan untuk membantu tugasNya dalam mengawasi manusia. Malaikat tidak daat dilih...